Berburu Solar di Tanah Serambi

Ilustrasi Google. Ist

Aceh Barat | Sudutpenanews.com : Pagi di Meulaboh selalu punya cerita. Di jalanan yang seharusnya lengang menjelang subuh, deru mesin truk sudah terdengar berbaris. Lampu-lampu sorot kendaraan memantul di aspal basah sisa hujan malam. Bukan konvoi proyek, bukan pula iring-iringan rombongan wisata. Mereka menunggu satu hal yaitu Solar.

Di sebuah SPBU di pinggiran kota Meulaboh, salah satu nelayan yang enggan disebut namanya, sudah duduk di atas becak motornya sejak mentari pagi terbit. “Kalau telat sedikit, bisa-bisa nggak kebagian,” katanya sambil menghirup kopi panas dari termos kecil. Tangannya kasar, kukunya hitam oleh oli, tapi tatapan matanya jauh membayangkan laut yang harus ia taklukkan hari ini.

Di barisan lain, seorang sopir truk sebut saja R tampak merokok, sesekali memeriksa kondisi wilayah sekitar. “Saya sudah dua jam di sini. biasanya bisa dapat siang ya kadang-kadang juga cepat,” ujarnya, setengah pasrah. Setiap menit yang terbuang di antrean berarti ongkos tambahan waktu terbuang, biaya operasional membengkak, bahkan peluang pekerjaan yang hilang.

Antrean solar di Aceh Barat bukan sekadar cerita hari ini. Ia sudah menjadi kebiasaan yang anehnya “biasa saja” di mata sebagian orang. Namun, di balik rutinitas itu, tersimpan masalah yang lebih dalam. Bagi nelayan, solar adalah izin untuk melaut. Tanpa itu, jaring tak akan pernah basah. Bagi sopir truk, solar adalah nyawa sang roda empat mereka yang digunakan untuk truk pengankut batu bara yang melintas di Jalan Kabupaten.

Masalahnya, pasokan sering tak sebanding dengan kebutuhan. Kapal nelayan butuh ratusan liter sekali berlayar. Truk-truk barang butuh puluhan liter untuk aktivitas hauling. Begitu distribusi tersendat sedikit saja, antrean panjang tak terelakkan.

Di sebuah warung kopi dekat SPBU, pembicaraan soal solar nyaris mengalahkan topik sepak bola. Orang membahas jadwal kapal tanker masuk pelabuhan, gosip tentang siapa yang “dapat duluan”, hingga strategi antre datang lebih awal, bawa bekal, dan siap begadang.

Namun, di tengah keluhan, ada juga kesadaran bahwa ini bukan semata soal teknis distribusi. Pemerintah, pengelola SPBU, dan Pertamina perlu duduk satu meja untuk memetakan kebutuhan riil. Data pasti akan membantu menentukan berapa banyak pasokan yang benar-benar dibutuhkan.

Hari semakin siang jelang sore. Antrean di SPBU mulai mencair, beberapa kendaraan keluar dengan tangki penuh, sebagian pulang dengan kecewa. Nelayan dan Supir Truk akhirnya mendapatkan jatahnya. Wajahnya lega, meski ia tahu besok ia mungkin akan kembali ke antrean yang sama.

Di Aceh Barat, menunggu solar adalah latihan kesabaran yang tanpa akhir. Tapi di balik itu, ada pertanyaan yang terus menggantung, sampai kapan masyarakat harus mengorbankan waktu, tenaga, dan asa untuk sesuatu yang seharusnya sederhana?.

banner 728x250

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *