Aceh | Sudutpenanews.com : Pernyataan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, yang menyoroti persoalan tambang ilegal dinilai penting, namun dianggap belum menyentuh akar persoalan kerusakan lingkungan di Aceh.
Syukur, salah satu aktivis lingkungan, menilai perusakan hutan di Aceh justru berlangsung secara lebih sistematis melalui pembukaan kawasan hutan dengan alat berat. Ia mencontohkan ekspansi ilegal yang terjadi di Rawa Tripa, Kila, hingga Beutong Ateuh.
“Kawasan hutan lindung yang seharusnya menjadi benteng terakhir kehidupan kini dipreteli sedikit demi sedikit oleh kepentingan ekonomi jangka pendek,” ujarnya, Minggu (29/9).
Menurutnya, hilangnya hutan Aceh berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, mulai dari berkurangnya sumber air bersih, meningkatnya risiko banjir dan longsor, musnahnya lahan pertanian, hingga terancamnya satwa langka seperti orangutan, gajah, dan harimau.
Selain itu, kerusakan hutan juga memperparah krisis iklim yang dampaknya semakin terasa di Aceh. “Musim tak menentu, kekeringan panjang, hingga gelombang pasang yang makin sering menghantam pesisir adalah tanda-tandanya,” kata Syukur.
Ia mempertanyakan sikap Mualem yang vokal soal tambang, namun belum bersuara keras terhadap perambahan hutan dengan ekskavator maupun penggundulan kawasan gambut. “Jika Mualem sungguh peduli terhadap masa depan Aceh, seharusnya kritik tidak berhenti pada tambang semata,” tegasnya.
Syukur menambahkan, rakyat Aceh berhak menuntut konsistensi moral dari para elit politik, bukan sekadar memilih isu yang populer. Menurutnya, suara politik harus diarahkan untuk mendorong penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan.
“Aceh membutuhkan kepemimpinan moral yang konsisten dan menyeluruh, menolak perusakan lingkungan baik oleh tambang maupun perambahan hutan,” ujarnya.
Ia mengingatkan kembali pesan Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Hasan di Tiro, yang pernah berujar “Peuseulamat uteun Aceh, sabab uteuen njan nakeuh salah saboh pusaka keuneubah endatu njang akan tapulang keu aneuk tjutjo geutanjoe di masa ukeu.”
“Pesan itu adalah peringatan agar generasi sekarang tidak menggadaikan masa depan demi keuntungan sesaat,” tutur Syukur.
Ia menegaskan, saat ini hutan Aceh berada di ujung tanduk. “Diam berarti ikut merestui kehancurannya. Elit Aceh harus membuktikan apakah benar-benar peduli atau hanya menjadikan isu lingkungan sebagai komoditas politik,” pungkasnya.








