Aceh Barat | Sudutpenanews.com : Klaim sebuah perusahaan tambang besar di Aceh Barat yang menyebut mayoritas tenaga kerjanya diisi oleh “putra-putri Aceh Barat” mendapat sorotan tajam dari publik. Pasalnya, data resmi justru menunjukkan sebaliknya, tenaga kerja asal Aceh Barat jauh dari kata mayoritas.
Anggota Komisi III DPRK Aceh Barat, Ahmad Yani, bahkan menyebut pernyataan perusahaan tersebut berpotensi menyesatkan opini publik. “Kalau bicara mayoritas, tunjukkan datanya. Jangan hanya menang di narasi tapi kosong di angka,” tegasnya, Kamis (28/8/2025).
Laporan resmi Dinas Tenaga Kerja Aceh Barat per Juli 2025 mencatat total 3.587 tenaga kerja dengan rincian 819 orang (22,8%) kelahiran Kabupaten Aceh Barat, 1.110 orang (30,9%) kelahiran kabupaten/kota lain di Aceh dan 1.658 orang (46,2%) berasal dari luar Provinsi Aceh. “Jadi tidak benar jika dikatakan mayoritas pekerja berasal dari Aceh Barat. Faktanya, hampir separuh justru dari luar Aceh,” jelas Ahmad Yani.
Data lain pada Maret 2025 juga memperlihatkan ketimpangan. Saat itu tercatat 51 persen pekerja dari Aceh Barat, 10 persen dari kabupaten/kota lain di Aceh, dan 39 persen dari luar Aceh. “Kalau benar mayoritas putra-putri Aceh Barat, semestinya angkanya di atas 70–80 persen. Faktanya hanya 51 persen, itu pun belum tentu semua kelahiran Aceh Barat. Jadi klaim itu lebih cocok disebut manipulatif,” tegasnya.
Kritik lain diarahkan pada penggunaan istilah “putra-putri lokal” yang dinilai longgar dan menyesatkan.“Apakah mereka yang baru 6 bulan tinggal di barak disebut lokal? Apakah pekerja outsourcing dari luar Aceh yang tinggal di kontrakan lalu dianggap putra daerah? Ini jelas penyesatan definisi,” ujar Ahmad Yani.
Fenomena ini menunjukkan betapa istilah “lokal” sering dipoles untuk mempercantik citra perusahaan, padahal realitas di lapangan jauh berbeda. Ahmad Yani menegaskan perlunya klasifikasi tenaga kerja berdasarkan KTP dan surat domisili tetap minimal tiga tahun yang dikeluarkan keuchik. Tujuannya agar publik mendapat data akurat, bukan klaim sepihak.
“Pemerintah daerah jangan menerima begitu saja klaim publik yang belum terverifikasi. Jika menyebut mayoritas pekerja dari Aceh Barat, hal itu perlu diuji secara objektif, bukan diterima mentah-mentah,” ujarnya.
Desakan ini sejalan dengan aspirasi masyarakat yang masih merasa termarjinalkan dalam perekrutan tenaga kerja tambang.
Realitas di lapangan menunjukkan masih banyak pemuda Aceh Barat yang menganggur atau hanya mendapat pekerjaan serabutan, sementara posisi strategis diisi oleh pekerja luar daerah.
“Kami tidak ingin rakyat Aceh Barat hanya jadi penonton di tanah sendiri. Jika investasi ini mengklaim memberdayakan masyarakat lokal, maka itu harus dibuktikan. Jangan bernarasi seolah putra-putri daerah sudah terakomodir, padahal di lapangan mereka masih mengantre peluang,” tutup Ahmad Yani.
Pernyataan Ahmad Yani mengingatkan publik pada problem mendasar sektor tambang di Aceh Barat antara janji dan kenyataan sering kali terbentang jurang lebar. Klaim “mayoritas tenaga kerja lokal” hanyalah retorika kosong bila tidak ditopang data transparan dan kebijakan rekrutmen yang berpihak pada masyarakat setempat.
Investasi tambang memang menyumbang pendapatan daerah, namun tanpa keterlibatan nyata tenaga kerja lokal, tambang hanya meninggalkan luka alam yang rusak, jalan yang hancur, sementara putra daerah tetap menganggur. Jika pemerintah daerah tidak berani melakukan audit dan memaksa perusahaan membuka data, publik akan terus disuguhi narasi indah yang menutup kenyataan pahit.








