Aceh | Sudutpenanews.com : Kasus korupsi proyek pengadaan wastafel senilai Rp43,59 miliar yang menjerat mantan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rachmat Fitri, bukanlah insiden tunggal. Ia hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar, lemahnya tata kelola anggaran pendidikan di Aceh.
Berdasarkan penelusuran sejumlah putusan pengadilan tipikor dalam lima tahun terakhir, sedikitnya terdapat beberapa pejabat dinas pendidikan kabupaten/kota di Aceh yang terjerat kasus korupsi mulai dari pengadaan buku, pembangunan sekolah, hingga proyek fasilitas penunjang seperti komputer dan wastafel. Polanya berulang, pemecahan paket untuk menghindari tender terbuka, pengaturan pemenang lelang, hingga mark-up harga.
Dalam kasus Rachmat Fitri, modusnya terbilang klasik. Proyek dipecah menjadi 390 paket dan melibatkan 219 perusahaan. Secara administratif, ini memudahkan distribusi pekerjaan. Namun, secara hukum, praktik itu digunakan untuk menghindari mekanisme lelang yang transparan. Akibatnya, kontraktor yang ditunjuk bukan selalu yang paling kompeten, tetapi yang punya kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.
Dana yang digunakan berasal dari refocusing APBA 2020, saat pandemi COVID-19 memaksa pemerintah mengalihkan anggaran untuk penanganan kesehatan. Secara etis, penggelapan dana di tengah situasi darurat adalah bentuk pengkhianatan publik yang paling serius. Apalagi, fasilitas cuci tangan yang seharusnya berfungsi sebagai proteksi siswa justru menjadi proyek bancakan.
Hukuman yang dijatuhkan empat tahun penjara setelah kasasi bagi sebagian kalangan dianggap belum sebanding dengan kerugian negara dan dampak sosialnya.
Pola berulang ini menunjukkan dua hal, lemahnya sistem pengadaan di sektor pendidikan Aceh dan minimnya pengawasan dari publik. DPR Aceh, inspektorat, hingga lembaga swadaya masyarakat sering kali hanya bereaksi setelah kasus meledak, bukan mencegah sejak dini.
Jika Aceh ingin keluar dari lingkaran setan ini, reformasi manajemen anggaran pendidikan adalah keharusan. Seluruh paket proyek harus transparan sejak tahap perencanaan, publik diberi akses penuh pada dokumen lelang, dan penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Integritas pejabat bukan hanya janji di awal jabatan, tapi komitmen yang dibuktikan setiap hari.
Kasus Rachmat Fitri bisa menjadi pelajaran berharga, jika kita mau belajar. Jika tidak, daftar panjang pejabat pendidikan Aceh yang terjerat korupsi hanya akan bertambah, dan mimpi mencerdaskan generasi akan terus dikubur di bawah meja para koruptor.
Redaksi Sudutpenanews.com








