Gangguan BSI di Aceh, Sampai Kapan Masyarakat Harus Bersabar?

Landmark BSI Aceh. FOTO: SERAMBI/HENDRI.

Aceh | Sudutpenanews.com : Redaksi – Sejak Januari hingga September 2025, masyarakat Aceh kembali dihadapkan pada kenyataan pahit, layanan perbankan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang berkali-kali mengalami gangguan. Mulai dari aplikasi Byond BSI yang tak bisa diakses, hingga mesin ATM yang error berhari-hari, keluhan nasabah terus berulang, seakan menjadi rutinitas yang tak pernah selesai.

Pertanyaannya sederhana, sampai kapan masyarakat harus bersabar?.

Di bulan Februari, sejumlah nasabah mengeluhkan gagal transaksi dan tidak bisa menarik tunai. BSI saat itu berjanji melakukan perbaikan. Namun, di awal September, masalah serupa kembali terjadi. Aplikasi Byond lumpuh, nasabah tidak bisa melakukan transfer, bahkan layanan BSI Mobile ikut terhenti. Situasi ini tentu merugikan, apalagi ketika nasabah membutuhkan akses cepat untuk kebutuhan mendesak.

Bank syariah seharusnya bukan hanya berlabel “syariah”, tetapi juga memberi jaminan keamanan, kecepatan, dan kenyamanan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.

Gangguan sistem digital bank bukan hal baru. Bank konvensional sekalipun pernah mengalaminya. Namun, yang membuat persoalan BSI ini berbeda adalah frekuensi gangguan yang terlalu sering dan komunikasi yang terkesan lambat.

Nasabah terjebak dalam situasi sulit, uang mereka ada, tetapi tidak bisa diakses. Lebih parah lagi, informasi resmi dari BSI sering muncul terlambat, membuat ruang spekulasi dan keresahan semakin melebar.

Di sini kita melihat lemahnya manajemen risiko dan kurangnya kesiapan infrastruktur digital. Bukankah bank sebesar BSI seharusnya sudah memiliki cadangan sistem (backup system) untuk mencegah gangguan berulang?.

Perlu diingat, BSI lahir dari merger bank syariah milik negara. Artinya, ini bukan sekadar urusan internal perbankan, tetapi juga menyangkut tanggung jawab negara kepada rakyat. Apalagi di Aceh, di mana BSI menjadi satu-satunya bank syariah besar setelah bank konvensional hengkang karena penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah.

Jika BSI gagal memberi pelayanan optimal, maka pemerintah pusat dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga ikut bersalah. Sebab, masyarakat Aceh tidak punya pilihan lain.

Gangguan demi gangguan harus menjadi alarm serius. BSI tidak boleh lagi hanya berlindung di balik alasan “optimalisasi sistem”. Transparansi, kesiapan teknologi, dan komunikasi cepat kepada publik adalah kunci membangun kembali kepercayaan.

Masyarakat Aceh sudah cukup bersabar. Tetapi kesabaran ada batasnya. Jika BSI tidak segera memperbaiki layanan secara menyeluruh, wajar saja bila muncul tuntutan agar pemerintah kembali menghadirkan opsi bank lain sebagai penyeimbang.

Sebab bank bukan sekadar institusi keuangan. Ia adalah jantung ekonomi rakyat. Dan jantung itu tidak boleh dibiarkan berdetak tersendat-sendat

banner 728x250

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *