Setelah “Kemenangan” Mualem atas Empat Pulau, Akankah Polemik Plat BL Menjadi Uji Kekuatan Baru?

Aceh | Sudutpenanews.com : Aceh-Sumut kembali panas. Dua isu besar dalam waktu berdekatan mengguncang relasi antara dua provinsi bertetangga ini. Pertama, soal klaim empat pulau yang disebut-sebut masuk ke wilayah Sumatera Utara namun oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) ditegaskan sebagai milik Aceh. Kedua, polemik plat BL di Medan yang viral setelah Gubernur Sumut Bobby Nasution menghentikan kendaraan berplat Aceh dan meminta agar platnya diganti ke BK/BB.

Kedua isu ini sejatinya berbeda ranah, satu menyangkut kedaulatan wilayah, satu lagi menyangkut urusan administratif perpajakan kendaraan. Namun, ketika dipadukan dalam ruang politik dan persepsi publik, keduanya bisa menjadi titik gesek yang menguji lagi hubungan kekuasaan dua gubernur Mualem dan Bobby.

Kisruh empat pulau mencuat setelah adanya klaim administratif yang menempatkan wilayah tersebut sebagai bagian dari Sumut. Mualem dengan tegas menolak klaim tersebut. Ia menyebut ada bukti sejarah dan administratif yang menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut adalah hak Aceh. “Itu hak Aceh, bukan untuk dikelola bersama, apalagi dipindahkan ke Sumut,” tegasnya dalam berbagai kesempatan.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri akhirnya turun tangan. Hasilnya, Aceh dinyatakan tetap berhak atas keempat pulau itu. Kemenangan ini menjadi simbol penting bagi Mualem, bukan hanya soal wilayah, tetapi juga soal legitimasi politik di mata rakyat Aceh.

Sebaliknya, di pihak Sumut, Gubernur Bobby menegaskan bahwa niatnya bukan hendak merebut, melainkan mengusulkan pengelolaan bersama. Namun penolakan tegas dari Aceh memperlihatkan bahwa sengketa wilayah di kawasan perbatasan masih sangat sensitif.

Belum reda soal pulau, publik dikejutkan dengan video viral di Medan, rombongan Gubernur Bobby Nasution menghentikan kendaraan berplat BL (Aceh). Bobby meminta agar kendaraan itu diganti ke BK atau BB, sesuai dengan lokasi perusahaan yang beroperasi di Sumut.

Secara formal, alasan Pemprov Sumut jelas, ini soal pajak kendaraan bermotor dan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Banyak perusahaan asal Sumut yang mendaftarkan kendaraan mereka di Aceh untuk mendapatkan bea lebih rendah, sementara kendaraannya beroperasi penuh di wilayah Sumut. Dari sisi administrasi, langkah ini bisa dibenarkan.

Namun, persoalan muncul ketika tindakan itu dipersepsikan sebagai diskriminasi simbolik. Banyak warga Aceh menilai insiden tersebut sebagai penghinaan, apalagi terjadi hanya beberapa pekan setelah sengketa pulau. Media sosial Aceh ramai dengan seruan agar pemerintah daerah merespons.

Pertanyaannya, apakah polemik plat BL ini akan menjadi “uji kekuatan” baru antara Mualem dan Bobby?.

Ada beberapa kemungkinan, jika isu ini diletakkan murni sebagai soal administrasi, penyelesaiannya bisa sederhana, Pemprov Sumut memperkuat aturan lewat Perda, memberi masa transisi bagi perusahaan, dan melakukan sosialisasi yang tertib. Dengan begitu, polemik berhenti pada ranah hukum administratif.

Namun, jika isu ini dipolitisasi, apalagi dibalut dengan retorika identitas, maka ia bisa menjadi bom waktu. Di Aceh, Mualem memiliki basis dukungan luas. Setelah kemenangan atas empat pulau, publik tentu akan menuntut konsistensi sikap keras terhadap segala bentuk “intervensi” Sumut. Artinya, ia berpotensi terdorong untuk merespons dengan tegas, baik dalam pernyataan maupun kebijakan balasan.

Pemerintah pusat menjadi kunci. Dalam kasus empat pulau, Kemendagri turun tangan. Hal serupa bisa dilakukan di isu plat kendaraan. Kementerian bisa mengingatkan bahwa aturan pajak kendaraan sudah diatur jelas dalam UU Lalu Lintas dan Pajak Daerah, sehingga tak boleh diseret ke arena konflik politik.

Kasus empat pulau sudah memperlihatkan bagaimana isu teritorial bisa menjadi pemantik sentimen kedaerahan. Kini, isu plat BL berpotensi mengulang pola yang sama dari urusan administratif, berubah menjadi simbol perlawanan.

Apakah ini akan menjadi uji kekuatan baru antara Bobby dan Mualem? Sangat mungkin. Tetapi semuanya bergantung pada bagaimana kedua pemimpin ini menahan diri dan memilih jalur hukum administratif ketimbang politik simbolik.

Bagi Aceh, kemenangan atas empat pulau telah menjadi modal simbolis yang besar. Bagi Sumut, menegakkan aturan pajak kendaraan adalah bagian dari kepentingan fiskal. Jika keduanya bisa menempatkan persoalan sesuai porsinya, polemik ini akan selesai tanpa drama besar. Namun jika politik identitas mengambil alih, bukan tidak mungkin Aceh–Sumut kembali berada dalam ketegangan berkepanjangan.

Polemik plat BL di Medan bukan sekedar soal pajak kendaraan. Ia adalah cermin rapuhnya komunikasi antarprovinsi di Indonesia. Ke depan, baik Aceh maupun Sumut perlu menunjukkan kedewasaan politik. Masyarakat tentu berharap dua gubernur muda ini tidak sibuk adu simbol, melainkan berlomba menghadirkan kebijakan yang menyejahterakan rakyatnya.

Kata Mualem kalau kita sabar aja biarlah mereka berkicau, tapi kita wanti wanti juga mereka, apabila mereka Jual Kita Akan Beli “Nyoe KA dipeblo, ta bloe” ucap Mualem.

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *