Aceh | Sudutpenanews.com : Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Tahun ini, tema global yang diangkat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah “Kesehatan Mental dalam Keadaan Darurat Kemanusiaan”. Meski fokus utama adalah dukungan psikososial dalam situasi krisis seperti konflik dan bencana, isu ini sangat relevan dengan kondisi anak muda saat ini yang hidup di tengah tekanan sosial, ekonomi, dan digital yang tak kalah kompleks.
Anak Muda dan Tekanan Zaman
Generasi muda saat ini tumbuh dalam lanskap digital yang serba cepat dan penuh ekspektasi. Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai ruang ekspresi dan koneksi, kini menjadi sumber tekanan yang tak terlihat. Ekspektasi untuk tampil sempurna, produktif, dan sukses di usia muda menciptakan standar yang sering kali tidak realistis.
Jean Twenge dalam bukunya iGen (2017) menyebut, “Semakin banyak waktu yang dihabiskan remaja untuk menatap layar, semakin besar kemungkinan mereka melaporkan gejala depresi.” Ia menyoroti bahwa generasi yang lahir setelah tahun 1995 menunjukkan peningkatan signifikan dalam kecemasan dan rasa kesepian, yang berkorelasi dengan meningkatnya penggunaan smartphone dan media sosial.
Sebuah studi oleh Keles, McCrae, dan Grealish (2020) dalam Journal of Adolescence juga menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkaitan erat dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental, terutama pada remaja dan dewasa muda. Mereka menyimpulkan bahwa “media sosial dapat memperburuk tekanan psikologis melalui perbandingan sosial dan paparan konten negatif.”
Stigma yang Masih Kuat
Di Indonesia, stigma terhadap gangguan mental masih menjadi penghalang utama bagi anak muda untuk mencari bantuan. Menurut survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan Kementerian Kesehatan, sebanyak 64,5% remaja usia 15–24 tahun pernah mengalami gejala gangguan mental, namun hanya 9,2% yang mengakses layanan profesional.
Dr. Diana Setiyawati, psikolog klinis dan peneliti dari UGM, menyatakan dalam Asian Journal of Psychiatry (2021): “Stigma sosial dan kurangnya literasi kesehatan mental membuat remaja enggan mencari pertolongan, bahkan ketika mereka menyadari ada masalah.” Ia menekankan bahwa edukasi dan normalisasi pembicaraan tentang kesehatan jiwa sangat penting untuk mendorong anak muda mencari bantuan.
Ruang Aman yang Masih Minim
Salah satu kebutuhan utama anak muda saat ini adalah ruang aman untuk bicara. Tempat di mana mereka bisa mengungkapkan perasaan tanpa takut dihakimi. Sayangnya, ruang seperti ini masih langka. Di sekolah, guru lebih fokus pada nilai daripada kesejahteraan emosional siswa. Di rumah, orang tua sering kali tidak terbiasa membicarakan emosi secara terbuka.
Menurut Weare (2015) dalam bukunya Promoting Mental, Emotional and Social Health, “Pendekatan sekolah secara menyeluruh yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua terbukti meningkatkan kesejahteraan psikologis dan mencegah gangguan mental sejak dini.” Ia menekankan pentingnya integrasi kesehatan mental dalam budaya sekolah dan kurikulum.Dr.Rini Fitriyanti, psikolog pendidikan dari Universitas Gadjah Mada menambahkan, “Kesehatan mental anak muda tidak bisa ditangani secara parsial. Harus ada sinergi antara sekolah, keluarga, dan komunitas.”
Teknologi: Ancaman dan Solusi
Teknologi memang menjadi salah satu pemicu tekanan mental, tetapi juga bisa menjadi solusi. Aplikasi konseling online, komunitas digital yang suportif, dan konten edukatif tentang kesehatan jiwa bisa membantu anak muda memahami diri mereka dan mencari pertolongan.
Studi oleh Naslund et al. (2016) dalam The Lancet Psychiatry menunjukkan bahwa “Platform digital menawarkan anonimitas dan aksesibilitas, yang sangat penting bagi kaum muda yang berjuang melawan stigma.” Teknologi dapat menjangkau mereka yang enggan mengakses layanan konvensional, terutama di daerah dengan keterbatasan tenaga profesional.
Namun, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan teknologi secara bijak. Anak muda perlu diedukasi tentang batasan digital: kapan harus berhenti scrolling, kapan harus istirahat, dan kapan harus bicara dengan orang nyata.
Dari Krisis ke Kesadaran
Tema tahun ini tentang “kesehatan mental dalam keadaan darurat” mengingatkan kita bahwa krisis tidak selalu berbentuk bencana alam atau konflik. Bagi anak muda, krisis bisa berupa kehilangan arah, tekanan sosial, atau trauma pribadi. Dalam konteks ini, dukungan psikososial menjadi sangat penting.
Patel et al. (2018) dalam The Lancet Commission on Global Mental Health and Sustainable Development menyatakan, “Kesehatan mental bukanlah kemewahan—melainkan kebutuhan untuk pembangunan manusia.” Mereka menekankan bahwa gangguan mental adalah penyebab utama disabilitas global, dan bahwa investasi dalam kesehatan jiwa adalah investasi dalam masa depan.
Di Indonesia, rasio tenaga psikolog klinis masih rendah. Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia), pada tahun 2024 hanya terdapat sekitar 2.500 psikolog klinis aktif untuk melayani lebih dari 270 juta penduduk. Ini berarti satu psikolog klinis harus melayani lebih dari 100.000 orang, jauh dari standar ideal WHO yang merekomendasikan satu psikolog untuk setiap 10.000 penduduk.
Saatnya Kita Bergerak
Sebagai masyarakat, kita tidak bisa lagi menutup mata. WHO mencatat bahwa bunuh diri menjadi penyebab kematian utama di usia 15–29 tahun secara global. Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 6,1% penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan angka ini diperkirakan meningkat pasca pandemi dan krisis ekonomi.
Pemerintah perlu memperluas akses layanan kesehatan jiwa, terutama di daerah terpencil. Tenaga psikolog dan psikiater perlu ditambah dan didistribusikan secara merata. Layanan konseling di sekolah dan kampus perlu diperkuat. Media perlu mengangkat isu kesehatan jiwa dengan cara yang edukatif dan empatik.
Dan kita, sebagai individu, perlu belajar menjadi pendengar yang baik. Menjadi teman yang peduli. Menjadi bagian dari solusi.
Penutup
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 adalah momen refleksi sekaligus aksi. Mari kita jadikan tanggal 10 Oktober bukan hanya sebagai pengingat, tetapi sebagai titik balik. Titik di mana anak muda tidak lagi merasa sendiri dalam perjuangan mentalnya. Titik di mana kita semua, sebagai masyarakat, memilih untuk peduli.
Karena setiap anak muda berhak untuk merasa aman, didengar, dan dicintai—tanpa syarat.
Penulis: dr. Rezki Muttaqin
Tanggal: 10 Oktober 2025







