Aceh Barat | Sudutpenanews.com — Lembaga Aspirasi Nasional Atjeh (LANA), menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat serta DPRK setempat belum menunjukkan sikap tegas terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA). KPPA dituding dan diduga tetap beraktivitas meski belum menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi prasyarat operasional pertambangan.
Ketua Lembaga Aspirasi Nasional Atjeh (LANA), Teuku Laksamana Jowa, menyatakan keprihatinan atas lamanya penanganan kasus ini.
Menurutnya, aktivitas yang berlangsung tanpa dokumen wajib tidak hanya melanggar ketentuan teknis, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian warga di sekitar lokasi tambang.
“Sungai dan sumber air masyarakat tercemar, sawah dan kebun warga rusak ini bukan sekadar persoalan administratif, ini soal keselamatan hidup rakyat,” ujar Teuku Laksamana dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/9/2025).
Dirinya juga meminta Dinas ESDM Provinsi Aceh mencabut IUP KPPA jika kewajiban administrasi tidak dipenuhi. Dirinya juga mengingatkan bahwa sejak 4 September 2023 Dinas ESDM telah menerbitkan surat penghentian sementara kegiatan operasional KPPA, namun dugaan aktivitas di lapangan masih berlangsung.
Kata Teuku Laksamana, KPPA belum pernah mendapat pengesahan RKAB sejak 2023 dan telah mendapat teguran dari DPMPTSP Aceh. DPMPTSP bahkan memberi batas waktu untuk melengkapi dokumen jika tidak dipenuhi, IUP operasional bisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Dirinya juga menyayangkan sikap Pemkab dan DPRK Aceh Barat yang terkesan “membisu”. LANA menilai pemerintah daerah punya kewajiban mengawasi tata kelola pertambangan dan melindungi kepentingan rakyat, apabila dibiarkan, praktik ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum daerah.
“Kenapa disaat PT. Megalanic Garuda Kencana yang mempunyai izin dan legalitas yang jelas terus diserang, namun ketika KPPA syarat masalah kenapa mereka harus bungkam,”tanyanya.
LANA menilai bahwa kehadiran investor bukan hanya demi mengejar keuntungan, melainkan juga membawa aspek tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Dikatakannya, sangat disayangkan, masih banyak pihak yang menolak perusahaan legal, sementara aktivitas pertambangan ilegal justru kerap dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat.
LANA menegaskan pentingnya menaati Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang menekankan bahwa kegiatan usaha pertambangan harus dilakukan berdasarkan izin resmi dan sesuai ketentuan hukum.
Teuku Laksamana menegaskan akan mengawal kasus ini hingga ada tindakan nyata, pembentukan tim penertiban lintas lembaga, pemulihan lingkungan jika terbukti ada kerusakan, serta jalur hukum bila pemerintah daerah terus tak bertindak.
LANA bahkan memberi batas waktu (ultimatum) kepada Pemerintah setempat untuk merespons, jika tidak ada tindakan, organisasi tersebut mengancam menempuh langkah hukum dan pengawalan publik lebih intens.







