Aceh Barat | Sudutpenanews.com : Sudah bertahun-tahun nelayan tradisional di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, menghadapi ancaman nyata setiap kali mereka kembali dari laut muara Krueng Cangkoi yang dangkal dan berbahaya.
Ini bukan masalah baru. Pada 2023 saja, empat kapal nelayan dilaporkan hancur karena tersangkut lalu dihantam ombak saat berusaha masuk ke muara yang kedalamannya hanya sekitar 70 sentimeter.
Keluhan pun telah berulang kali disuarakan dari nelayan, Panglima Laot, hingga Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (Kontan). Namun, semua suara itu seolah hanya bergaung di ruang hampa, tanpa respons nyata dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat memang sempat menjanjikan solusi. Pada 2024, Pj Bupati bersama DKP melakukan survei lapangan dan mengusulkan normalisasi muara melalui APBA 2025. Tapi hingga memasuki paruh kedua 2025, belum ada alat berat yang diturunkan, belum ada pengerukan yang dimulai, dan belum ada perubahan yang dirasakan nelayan.
Sementara itu, armada nelayan terus terancam. Pendangkalan muara semakin parah, jembatan rendah tetap menghalangi jalur keluar-masuk kapal, dan bangkai kapal yang tersangkut tak juga dibersihkan. Janji hanya tinggal janji. Apakah pemerintah menunggu lebih banyak kapal rusak atau nyawa melayang agar mulai bertindak?
Sebagai institusi yang bertanggung jawab atas sektor kelautan dan kesejahteraan nelayan, DKP Aceh Barat seharusnya menjadi ujung tombak penyelesaian masalah ini. Namun hingga kini, DKP justru tampak lebih nyaman berperan sebagai “pendamping administratif” alih-alih penggerak lapangan.
Mereka memang ikut meninjau lokasi bersama Pj Bupati, tetapi tidak ada kelanjutan yang berarti. Tidak ada pengerukan. Tidak ada pembongkaran jembatan. Tidak ada pembersihan bangkai kapal. Bahkan keluhan soal sulitnya pengurusan dokumen kapal seperti SIK (Surat Izin Kapal) yang harus ke Sibolga pun belum ditindaklanjuti.
Berbagai solusi sebenarnya sudah jelas dan realistis. Nelayan tidak meminta hal yang muluk. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik dan eksekusi teknis Pengerukan dan normalisasi muara secara berkala menggunakan alat berat. Penyesuaian atau pembongkaran jembatan rendah yang menghambat jalur kapal.Koordinasi lintas instansi DKP, PUPR, Bappeda, BPBD untuk menjadikan rencana sebagai tindakan.Pemberdayaan nelayan, termasuk kemudahan urusan dokumen kapal, bantuan BBM, dan cold storage hasil tangkapan.Semua ini bukan hal baru. Semua ini sudah disuarakan. Lalu, apa lagi yang ditunggu?.
Penting untuk disadari, betapapun seringnya pejabat daerah dan DKP meninjau lokasi, jika tidak diikuti dengan tindakan nyata, itu hanya menjadi pertunjukan empati simbolis. Sektor kelautan dan perikanan tidak boleh terus-menerus diperlakukan sebagai urusan “teknis belakang layar” yang bisa ditunda-tunda.
Jika DKP Aceh Barat tidak segera bangkit dari kursi pengamat dan turun menjadi pelaksana solusi, maka nasib nelayan akan terus terjebak bukan hanya di muara yang dangkal, tetapi juga dalam kebijakan yang tak berpihak.
Sudah saatnya DKP menjadi garda terdepan. Aceh Barat membutuhkan tindakan, bukan wacana.








