Aceh Barat | Sudutpenanews.com : Di tengah semangat pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah melalui sektor pertambangan, kita kerap kali lupa bahwa ada harga sosial dan kesehatan yang harus dibayar oleh masyarakat yang hidup berdampingan dengan proyek-proyek skala besar. Salah satu contoh nyata dan ironis dari hal ini bisa kita lihat di Aceh Barat, khususnya di wilayah yang dilintasi jalur hauling batu bara milik PT Agrabudi Jasa Bersama (AJB) di Kecamatan Kaway XVI.
Belakangan ini, masyarakat di sejumlah desa di Kecamatan Kaway XVI, dilaporkan mengalami peningkatan signifikan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang diduga akibat debu batu bara yang diakibatkan oleh aktivitas hauling perusahaan PT. AJB yang menggunakan jalan Kabupaten, Provinsi dan Nasional.
Paparan debu batu bara bukan sekadar gangguan visual atau kenyamanan. Debu ini mengandung partikel halus (PM10 dan PM2.5) yang dapat masuk hingga ke paru-paru, memicu penyakit saluran pernapasan (ISPA), bronkitis, bahkan asma kronis. Di sepanjang jalur hauling PT AJB, ada dugaan kasus ISPA terus meningkat. ada ratusan kasus terjadi di kecamatan Kaway XVI dari Januari hingga Juni 2025 ini. Sementara Keluhan dari warga kerap diabaikan dan tanpa pembentukan posko Kesehatan disetip jalur hauling yang mereka gunakan. Padahal, dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dampak lingkungan dan kesehatan akibat aktivitas industri harus dikendalikan dan dimitigasi oleh pelaku usaha itu sendiri.
Apakah PT AJB melakukan itu? Warga dan fasilitas Kesehatan menjawab dengan satu kata: “Tidak.”
Berdasarkan data yang diterima, penyakit ISPA di wilayah Kaway XVI terdapat Januari sebanyak 266 kasus, Februari 276 Kasus, Maret 204 Kasus, April 257 Kasus, Mei 158 dan Juni 133 Kasus. Apakah itu berasal dari paparan debu atau bukan, hal ini belum bisa dijawab oleh pihak fasilitas kesehatan setempat.
Angka ini tentu bukan sekadar statistik biasa. Ia adalah representasi dari napas yang sesak, anak-anak yang batuk setiap malam, dan para lansia yang harus bolak-balik ke Puskesmas karena gangguan pernapasan. Dan semuanya mengarah pada satu sumber dugaan utama yaitu debu dari lalu lintas truk pengangkut batu bara.
Jalur hauling yang digunakan oleh PT AJB bukanlah jalan khusus perusahaan, melainkan jalan umum yang dilintasi oleh masyarakat. Truk-truk berkapasitas besar melintas setiap hari, membawa muatan batu bara dari Kaway XVI ke PLTU 3-4 yang berada di Kabupaten Nagan Raya. Di sepanjang perjalanan itu, debu beterbangan, mengotori udara yang dihirup warga desa ketika truk hauling melintas.
Debu batu bara mengandung partikel halus seperti PM10 dan PM2.5. Partikel ini sangat kecil dan bisa masuk jauh ke dalam paru-paru. Dalam jangka panjang, paparan berlebihan terhadap partikel ini bisa memicu berbagai penyakit, mulai dari ISPA, bronkitis, asma, hingga kanker paru. WHO bahkan menyatakan bahwa PM2.5 adalah salah satu penyebab utama kematian dini akibat polusi udara.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah upaya nasional menekan angka penyakit pernapasan dan meningkatkan kualitas udara.
Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa perusahaan tidak membangun jalur hauling sendiri, tidak menutup jalan umum, dan tidak menyediakan mitigasi jangka panjang seperti sistem penyemprotan rutin, jalur alternatif, atau green barrier (pagar pohon pelindung debu). Ini jelas bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab lingkungan dan sosial yang seharusnya melekat pada perusahaan tambang berskala besar.
Lebih jauh lagi, ini menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Dimana peran Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK)? Apakah AMDAL benar-benar telah dilakukan dengan kajian menyeluruh dan partisipasi masyarakat?
Jika perusahaan terus dibiarkan menggunakan fasilitas umum tanpa kontribusi dan pengawasan ketat, maka pemerintah daerah secara tidak langsung sedang membiarkan warganya menderita di bawah asap pembangunan yang tidak adil.
Dalam menghadapi fenomena meningkatnya kasus ISPA ini, sangat penting untuk tidak hanya bersandar pada asumsi. Maka, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Barat maupun DLHK Provinsi Aceh wajib segera melakukan pengukuran kualitas udara secara ilmiah dan menyeluruh di seluruh jalur hauling PT AJB dan permukiman warga terdampak.
Pengukuran ini harus dilakukan menggunakan alat pengukur standar (Air Quality Monitor) yang dapat merekam konsentrasi partikel PM2.5 dan PM10 di udara. Hasil dari pengukuran ini akan menjadi dasar ilmiah dan objektif untuk membuktikan apakah lonjakan ISPA memang berkorelasi langsung dengan pencemaran udara akibat aktivitas hauling batu bara.
Lebih dari itu, hasil pengukuran udara harus dipublikasikan secara terbuka kepada masyarakat, sehingga warga berhak tahu udara macam apa yang mereka hirup setiap hari.
Tanpa data yang konkret, maka segala bentuk penolakan maupun pembelaan akan terus menjadi wacana tanpa arah. Padahal, yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan opini, tapi tindakan nyata berbasis bukti.
ISPA bukan hanya soal batuk dan sesak napas. Di balik itu, ada beban ekonomi dan psikologis yang tak kasat mata. Orang tua kehilangan waktu kerja untuk mengantar anak berobat. Lansia harus membayar ongkos ke klinik. Anak-anak kehilangan masa bermainnya. Dan dalam jangka panjang, kualitas hidup masyarakat menurun drastis.
Padahal, menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mencegah dan menangani dampak negatif dari aktivitasnya. Namun, kenyataannya, laporan dari warga terus menunjukkan ketidakhadiran nyata dari PT AJB dalam memberikan kompensasi maupun solusi jangka panjang.
Seharusnya, Pemerintah daerah harus membuka dokumen AMDAL PT AJB kepada publik dan mengevaluasi ulang efektivitasnya. Apakah kajian dampaknya benar-benar mempertimbangkan kondisi kesehatan masyarakat? Bila tidak, maka AMDAL tersebut cacat secara substansial. PT AJB harus diwajibkan membangun jalur hauling sendiri yang tidak melewati pemukiman warga. Ini adalah bentuk keadilan ekologis dan sosial yang harus ditegakkan.
DLHK Kabupaten dan Provinsi harus segera mengecek kualitas udara di wilayah terdampak, dengan melibatkan lembaga independen, dan hasilnya diumumkan secara publik. Perusahaan harus aktif dalam membantu penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan gratis bagi warga terdampak. Program CSR tak boleh berhenti pada penanaman pohon simbolik atau pembagian sembako semata.
Warga harus dilibatkan dalam forum pengawasan lingkungan. Setiap keputusan penting terkait operasional hauling wajib dikonsultasikan melalui musyawarah desa atau forum masyarakat.
Pembangunan seharusnya menciptakan kesejahteraan bersama, bukan hanya keuntungan bagi segelintir pihak. Jika keuntungan dari batu bara dibayar dengan napas sesak dan tubuh lemah anak-anak Aceh Barat, maka itu bukan kemajuan—melainkan kemunduran.
Kini saatnya masyarakat, pemerintah, dan pihak perusahaan merenungkan kembali apa arti pembangunan jika ia membunuh secara perlahan?. Dan kini pula saatnya, dinas terkait hadir membuktikan secara ilmiah melalui pengukuran kualitas udara bahwa suara masyarakat bukanlah tuduhan kosong, melainkan jeritan dari ruang hidup yang semakin menyempit.







