Aceh | Sudutpenanews.com : Setelah menuai konflik berkepanjangan dengan masyarakat, keputusan PT. Agrabudi Jasa Bersama (AJB) dan perusahaan batu bara yang aktivitas haulingnya menggunakan lintas Kabupaten, Provinsi dan Nasional untuk membangun jalur hauling batu bara yang baru tampaknya menjadi langkah kompromi yang menarik. Di permukaan, ini bisa dibaca sebagai bentuk itikad baik untuk meredakan ketegangan. Namun, lebih dalam dari itu, publik patut mempertanyakan, apakah ini solusi jangka panjang, atau sekadar strategi untuk meredam gejolak sesaat?
Pembangunan jalur hauling baru tentu berpotensi mengurangi gesekan langsung dengan masyarakat yang sebelumnya terdampak oleh aktivitas angkutan batu bara. Gangguan debu, kebisingan, dan kerusakan fasilitas daerah bisa ditekan. Namun demikian, langkah ini tidak serta-merta menjawab akar persoalan, yakni lemahnya partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan, serta minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam aktivitas pertambangan yang dijalankan oleh kedua perusahaan tersebut.
Pembangunan jalur hauling baru tentu saja memiliki potensi manfaat. Dengan menjauhkan jalur angkutan batu bara dari pemukiman, perusahaan bisa mengurangi dampak langsung seperti kebisingan, debu, polusi udara, dan kerusakan infrastruktur jalan desa yang sebelumnya menjadi sumber keluhan warga. Ini bisa menciptakan ruang bagi relasi yang lebih tenang antara perusahaan dan komunitas lokal.
Namun perlu disadari, persoalan utama yang dihadapi masyarakat bukan semata soal debu atau bising kendaraan tambang. Akar masalahnya jauh lebih kompleks dan bersifat sistemik, lemahnya partisipasi publik dalam proses perencanaan tambang, minimnya transparansi dalam pengelolaan izin dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), serta sering kali nihilnya dialog yang setara antara perusahaan dan warga terdampak.
Jika perusahaan hanya memindahkan jalur hauling tanpa memperbaiki pendekatan sosial mereka, maka jalur baru ini hanya akan menjadi “jalan baru menuju konflik berikutnya”.
Pembangunan seharusnya tidak hanya diukur dari berapa kilometer jalan hauling yang bisa dibangun atau berapa juta ton batu bara yang bisa diangkut setiap hari atau tahunnya. Pembangunan sejati adalah ketika masyarakat merasa aman, dihargai, dan dilibatkan. Ini membutuhkan perubahan paradigma dari pendekatan yang eksploitatif dan transaksional menjadi model yang kolaboratif dan berkeadilan.
Dalam konteks ini, konsep keadilan ekologis menjadi penting. Seperti diketahiu, aktivitas tambang memiliki dampak ekologis yang besar deforestasi, pencemaran air, degradasi lahan, dan gangguan terhadap keanekaragaman hayati. Bila tidak ditangani dengan transparan dan berkelanjutan, maka keberadaan jalur hauling baru hanya akan memindahkan risiko, bukan menguranginya.
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa investasi tidak menjadi alat dominasi yang merugikan rakyat. Mereka harus hadir sebagai mediator aktif yang berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya sebagai pihak yang membubuhkan tanda tangan pada dokumen proyek.
Lebih dari itu, pemerintah perlu memastikan bahwa ruang partisipasi dibuka lebar mulai dari tahap perencanaan, konsultasi, pengawasan, hingga evaluasi. Warga berhak tahu, berhak menyuarakan pendapat, dan berhak menolak jika proyek mengancam kehidupan mereka.
Masyarakat lokal pun sepatutnya tidak hanya dilihat sebagai pihak pasif atau sekadar korban. Mereka adalah pemilik sah ruang hidup, adat, dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam banyak kasus di Indonesia, kekuatan komunitas yang bersatu telah mampu mendorong terciptanya mekanisme tata kelola sumber daya alam yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pertanyaannya kini adalah apakah jalur hauling baru ini merupakan hasil refleksi mendalam atas kegagalan sebelumnya, atau hanya strategi untuk meredam protes sementara waktu? Jika perusahaan tidak menunjukkan perubahan perilaku dalam pendekatan sosial dan lingkungannya, maka publik berhak curiga bahwa ini hanyalah tindakan kosmetik.
Apa yang dibutuhkan saat ini bukan hanya jalan baru, tapi juga cara baru dalam berjalan lebih transparan, partisipatif, dan berorientasi pada keberlanjutan. Kepercayaan tidak dibangun dengan aspal dan ekskavator, tapi dengan mendengar, menghargai, dan melibatkan.
Relasi antara industri ekstraktif dan masyarakat harus dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan sosial, ekologis, dan demokrasi ekonomi. Jalur hauling yang baru bisa menjadi momentum penting jika dimaknai sebagai titik tolak perubahan mendasar dalam tata kelola pertambangan.
Jika tidak, maka kita hanya akan menyaksikan siklus lama dalam kemasan baru, konflik, kompromi palsu, dan kerusakan yang terus berulang. Yang dibutuhkan adalah masa depan industri yang bukan hanya mengangkut hasil bumi, tapi juga membawa manfaat yang adil bagi semua yang hidup di atasnya. Pembangunan jalur hauling baru akan berarti jika ia lahir dari refleksi atas kegagalan sebelumnya. Bukan sekadar menghindar dari konflik, tapi belajar darinya dan menjadikannya titik tolak menuju relasi industri yang lebih sehat, transparan, dan berkeadilan.







