Aceh | Sudutpenanews.com : Dalam idealisme pemerintahan yang sehat, pembangunan daerah semestinya dijalankan melalui sistem birokrasi yang terbuka, profesional, dan berbasis pada mekanisme kerja yang kolektif. Namun di sejumlah daerah, praktik yang terjadi justru memperlihatkan kecenderungan sentralisasi kendali proyek pada satu sosok tertentu, biasanya adalah orang terdekat dan paling dipercaya oleh kepala daerah.
Fenomena ini tidak melanggar aturan secara langsung. Tidak pula selalu merugikan secara kasat mata. Namun dalam jangka panjang, konsentrasi kekuasaan teknis pada satu figur yang tidak menempati posisi struktural resmi, bisa menjadi lubang kecil yang menjelma celah besar dalam sistem pengelolaan pemerintahan.
Sosok ini biasanya hadir sebagai “penghubung”, “penyambung lidah”, atau bahkan “penentu” arah teknis proyek di lapangan. Ia tidak berada dalam organigram resmi, tetapi keputusannya kerap menjadi penentu terakhir. Para penyedia jasa pun memahami bahwa keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan sangat bergantung pada relasi dan komunikasi dengan satu orang ini. Ini membuat proses pengelolaan pembangunan tidak lagi berjalan berdasarkan sistem, melainkan berdasarkan jaringan kedekatan dan loyalitas.
Situasi seperti ini bukan semata tentang siapa yang pegang kendali, tetapi tentang apa yang dikorbankan. Ketika sistem dibayangi oleh figur non-struktural, maka akuntabilitas menjadi kabur. Ketika keputusan teknis bergantung pada satu suara, maka potensi inovasi, evaluasi kolektif, dan distribusi peran jadi tergerus.
Pembangunan seharusnya menjadi kerja besar yang melibatkan banyak kepala, bukan sekadar satu tangan. Pemerintah daerah memiliki ratusan pegawai dengan kompetensi yang dibentuk untuk menjadi bagian dari mesin birokrasi. Ketika semuanya hanya menjadi pelengkap dari satu komando informal, maka yang hilang bukan hanya sistem, tapi juga rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif.
Bukan berarti seseorang yang dipercaya tidak boleh diberi peran. Tapi seharusnya peran itu dibingkai dalam struktur yang jelas, prosedur yang terbuka, dan pengawasan yang adil. Dalam pembangunan daerah, transparansi dan distribusi kewenangan bukanlah hambatan, melainkan fondasi dari kepercayaan publik.
Pada akhirnya, pembangunan bukan hanya soal seberapa cepat proyek rampung, tetapi juga tentang seberapa sehat sistem yang digunakan untuk menyelesaikannya. Dan pembangunan yang sehat tidak lahir dari satu tangan yang kuat, tapi dari banyak tangan yang bekerja bersama dalam terang.








