Aceh Barat | Sudutpenanews.com – Meskipun memilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga 2029, akitivitas Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA) yang beroperasi di wilayah Kecamatan Sungai Mas Kabupaten Aceh Barat, dinilai melanggar ketentuan hukum karena tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang sah sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, mengatakan bahwa secara administratif KPPA memang berizin, namun izin tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk beroperasi sebelum seluruh dokumen penunjang dipenuhi. Ia menegaskan, tanpa RKAB, setiap aktivitas produksi yang dilakukan perusahaan sama halnya dengan kegiatan tambang ilegal.
“Mereka memang memiliki IUP, tapi tidak punya RKAB. Padahal itu syarat mutlak sebelum berproduksi. Tanpa RKAB, tidak ada dasar hukum untuk menambang sama juga illegal namanya,” ujarnya M. Nur kepada medi melalui sambungan telepon selulernya, Rabu (22/10/2025).
Muhammad Nur menjelaskan, RKAB bukan sekadar dokumen formal, melainkan pedoman kerja perusahaan dalam mengatur rencana produksi, anggaran, hingga kewajiban terhadap negara dan lingkungan. Ketiadaan dokumen ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap Pasal 99 ayat (1) UU Minerba, yang mewajibkan setiap pemegang IUP memperoleh persetujuan RKAB sebelum melaksanakan kegiatan pertambangan.
Selain persoalan RKAB, Forbina juga menyoroti berbagai kelalaian administratif dan teknis yang belum dipenuhi oleh KPPA, termasuk kewajiban reklamasi, penempatan jaminan pascatambang, dan pelaporan kegiatan kepada pemerintah. Ia menyebut, pemerintah provinsi sebenarnya sudah menyurati KPPA sejak 2023 untuk melengkapi dokumen tersebut, namun hingga 2025 belum ada tindak lanjut yang jelas.
“Pemerintah sudah bekerja, sudah mengingatkan dan mengevaluasi, tapi belum ada tindakan tegas. Sementara perusahaan tetap beraktivitas sampai saat ini,” tambahnya.
Aktivitas tambang KPPA di wilayah tepi sungai juga menuai kritik karena dinilai merusak lingkungan. Air sungai dilaporkan menjadi keruh akibat kegiatan tambang, sementara masyarakat di sekitar lokasi tidak mendapatkan kompensasi.
Muhammad Nur menilai, tanpa adanya surveior resmi dan RKAB yang disahkan, pemerintah tidak dapat menghitung jumlah produksi dan nilai pajak yang seharusnya disetor ke negara. Kondisi ini berpotensio menimbulkan kerugian negara dari sektor pendapatan bukan pajak serta memperparah dampak lingkungan di wilayah tambang.
“Kalau surveior tidak ada, bagaimana bisa dihitung berapa hasil emas dan berapa pajak negara? Semua mekanismenya diatur di RKAB,” ujarnya.
Sebelumnya, pada September 2025 lalu, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh telah mengeluarkan surat penghentian sementara terhadap kegiatan operasi produksi KPPA. Keputusan itu dikeluarkan setelah Tim Evaluasi IUP Minerba menemukan bahwa koperasi tersebut belum memenuhi sejumlah kewajiban penting, termasuk penyusunan rencana reklamasi, penempatan jaminan pascatambang, serta pelaporan kegiatan secara berkala.

Pemerintah telah memberikan waktu selama 60 hari untuk melengkapi seluruh kewajiban tersebut, namun hingga kini tidak ada perbaikan berarti. Aktivitas di lapangan pun dilaporkan masih terus berjalan.
Seperti diketahui, kelalaian terhadap kewajiban penyusunan RKAB dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Minerba, yang mengancam pelaku usaha tambang tanpa izin atau kelengkapan hukum dengan pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga seratus miliar rupiah.
Sementara itu, Lembaga Aspirasi Nasional Atjeh (LANA) turut menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan DPRK Aceh Barat terhadap aktivitas tambang KPPA. Ketua LANA, Teuku Laksamana Jowa, menyebut dewan terkesan tidak konsisten dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap perusahaan tambang di wilayahnya.
“DPRK terlihat tajam menyoroti PT MGK, tapi tumpul terhadap KPPA. Kalau ingin menegakkan aturan, seharusnya semua pihak diawasi secara objektif,” ujarnya.
Ia menilai, sikap DPRK yang tebang pilih dalam pengawasan tambang menimbulkan kesan bahwa ada keberpihakan tertentu. Padahal, seluruh perusahaan tambang wajib diawasi agar tidak melanggar aturan, terutama yang berkaitan dengan izin dan dampak lingkungan
Diakhir perbicangan, M. Nur menjelaskan, ketiadaan RKAB dan berbagai kewajiban lain menunjukkan bahwa legalitas izin tidak otomatis membuat aktivitas tambang menjadi sah secara hukum. Para penggiat lingkungan dan lembaga masyarakat sipil di Aceh Barat mendesak pemerintah untuk bertindak tegas agar tidak ada lagi praktik tambang yang beroperasi di luar ketentuan.
“Legalitas izin itu penting, tapi kepatuhan terhadap aturan jauh lebih penting. Tanpa RKAB, kegiatan mereka tetap melanggar hukum,” pungkas Muhammad Nur.







