Sutarmi Dari ASN ke DPRA, Jejak Pengabdian yang Tak Pernah Usai

Sutarmi Anggota DPRA Dapil IV aCEH. Ist

Aceh Tengah | Sudutpenanews.com : Di antara hamparan hijau kopi Gayo dan dinginnya udara pegunungan Bener Meriah, nama Sutarmi perlahan tumbuh menjadi bagian dari percakapan rakyat. Ia bukan sekadar politisi baru yang berhasil duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), melainkan sosok perempuan yang kiprahnya sudah lama melekat dalam denyut kehidupan sosial masyarakat.

Perjalanan Sutarmi mengingatkan bahwa politik sejatinya adalah kelanjutan dari pengabdian. Bagi perempuan yang sebelumnya berkarier sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, pensiun bukan berarti berhenti melayani, melainkan membuka babak baru untuk memperjuangkan aspirasi lebih luas.

Sutarmi memulai karier panjangnya sebagai ASN di Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah. Ia dikenal sebagai pegawai yang tekun, ramah, dan tidak berjarak dengan masyarakat. Di ruang kantor, ia terbiasa melayani warga dengan senyum di lapangan, ia turun langsung melihat bagaimana kebijakan kecil berdampak besar bagi kehidupan sehari-hari.

Momen pensiun semestinya menjadi akhir perjalanan birokrasi. Namun, bagi Sutarmi, justru lahir pertanyaan “Apakah pengabdian saya cukup hanya sampai di sini?” Dari sanalah dorongan untuk masuk ke jalur politik mulai tumbuh.

Keputusannya maju bersama Partai NasDem mendapat dukungan kuat, terutama dari kalangan perempuan, komunitas pengajian, dan jaringan sosial yang selama ini ia bina. Pada Pemilu 2024, ia tampil sebagai calon legislatif Dapil 4 Aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah) dengan nomor urut 3. Hasilnya, Sutarmi berhasil meraih 6.431 suara yang lahir dari kerja konsisten di akar rumput, bukan sekadar slogan politik.

Latar belakang akademisnya sebagai alumni Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) memberi bekal berharga. Ia terbiasa melihat persoalan dengan analisis structural bagaimana kebijakan fiskal berdampak pada masyarakat kecil, bagaimana distribusi pembangunan menyentuh pelosok, hingga bagaimana pengelolaan sumber daya bisa adil bagi semua.

Dengan pemikiran ekonominya, Sutarmi berkomitmen membawa isu-isu kesejahteraan mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan Perempuan ke meja legislatif.

Salah satu langkah Sutarmi yang paling membekas adalah lahirnya gerakan sosial Sedekah Seribu Sehari (S3). Ide sederhana ini mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dengan menyisihkan seribu rupiah setiap hari. Namun, dari kebersamaan kecil itu terkumpul kekuatan besar.

Dana S3 kemudian disalurkan untuk membantu orang sakit, anak yatim, pelajar yang kesulitan biaya, hingga lansia yang membutuhkan perhatian. Lebih dari sekadar sedekah, gerakan ini memperlihatkan bahwa solidaritas sosial bisa menjadi benteng masyarakat.

Kesadaran bahwa banyak warga dari pedalaman harus berobat atau mengurus keperluan ke Banda Aceh, mendorong Sutarmi mendirikan rumah singgah. Tempat ini menjadi ruang bernaung, beristirahat, bahkan berkonsultasi bagi rakyat yang datang jauh-jauh dari kampung.

Bagi sebagian orang, rumah singgah itu adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tak sekadar hadir di gedung parlemen, melainkan juga menyediakan fasilitas yang benar-benar dirasakan manfaatnya.

Dalam dunia politik yang masih didominasi laki-laki, Sutarmi mencoba membuka ruang lebih besar bagi perempuan. Ia bahkan menghadiahkan motor operasional kepada sembilan caleg perempuan yang serius berjuang dalam kontestasi politik. Baginya, keberadaan perempuan di legislatif sangat penting agar kebijakan lebih adil dan sensitif gender.

Selain itu, ia juga mendorong pembentukan koperasi Pramuka di Bener Meriah, sebagai wadah latihan kemandirian ekonomi sekaligus pendidikan karakter bagi generasi muda. Sutarmi percaya, membangun bangsa dimulai dari membangun anak-anak muda yang berani mandiri.

Di balik kiprah sosial dan politiknya, Sutarmi juga menaruh perhatian serius pada isu lingkungan. Ia menyoroti konflik manusia dengan gajah liar yang kerap terjadi di Bener Meriah akibat alih fungsi hutan menjadi kebun sawit.

Bagi Sutarmi, suara petani yang kehilangan tanaman akibat gajah sama pentingnya dengan suara satwa yang kehilangan habitatnya. Ia berkomitmen mendorong kebijakan yang menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.

Meski ada yang menyebut keterlibatannya tak lepas dari faktor dinasti politik karena suaminya, Sarhamija, adalah Ketua DPC NasDem Bener Meriah sekaligus mantan anggota DPRK publik tetap melihat Sutarmi sebagai sosok yang berdiri di atas kakinya sendiri.

Kerendahan hati, konsistensi hadir di tengah masyarakat, serta sikap merakyat membuatnya dijuluki sebagai “ibu masyarakat” di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Ia kerap hadir di pengajian, gotong royong, dan tak segan turun langsung ketika bencana melanda.

Bagi Sutarmi, politik bukanlah jalan untuk mencari kekuasaan semata. Ia menyebut politik sebagai perpanjangan tangan pengabdian yang ia jalani sejak ASN. Perjalanan hidupnya menggambarkan kesinambungan dari melayani warga di meja birokrasi, melanjutkan ke gerakan sosial, hingga kini memperjuangkan kebijakan di DPRA.

Sebagai legislator, Sutarmi masih punya banyak agenda. Dari memperjuangkan anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, memperkuat posisi perempuan dalam politik, hingga memperluas jaringan sosial kemasyarakatan yang sudah ia rintis.

Bagi masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah, kehadiran Sutarmi menjadi bukti bahwa politik bisa dekat, sederhana, dan menyentuh hati rakyat. Bahwa seorang ibu, dengan ketekunan dan kepedulian, mampu mengubah ribuan suara menjadi sebuah kursi di parlemen, lalu menjadikan kursi itu alat untuk berbuat baik.

Di setiap langkahnya, Sutarmi seakan ingin membuktikan bahwa politik bisa hadir dengan wajah yang lembut, tulus, dan penuh kasih. Ia tidak membangun jarak dengan rakyat, justru menyiapkan ruang aman tempat masyarakat bisa menitipkan harapan.

Dari meja ASN, pengajian kampung, rumah singgah di Banda Aceh, hingga ruang sidang DPRA, benang merah yang mengikat perjalanan hidupnya tetap sama mengabdi tanpa henti, berbagi tanpa pamrih.

Bagi Sutarmi, jabatan hanyalah alat, bukan tujuan. Ia sadar suatu saat mandat rakyat akan berakhir, tetapi jejak kebaikan gerakan seribu rupiah, senyum saat membantu, dan tangan yang selalu terulur di tengah rakyat akan terus hidup jauh lebih lama daripada masa jabatannya.

Dan mungkin, itulah warisan terbesar yang ingin ia tinggalkan, keyakinan bahwa pengabdian seorang ibu kepada masyarakat tak pernah lekang oleh waktu.

 

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *