Sekolah di Aceh Barat Nyaris Ditutup, Bupati Tarmizi Hadir Sebagai Penyelamat Harapan

Bupati Aceh Barat Tarmizi SP. Foto Jabtoday.co

Aceh Barat | Sudutpenanews.com : Di pelosok Aceh Barat, sekolah bukan sekadar bangunan berdinding papan atau beton sederhana. Bagi anak-anak pedalaman, sekolah adalah jendela kecil yang membuka cakrawala luas tentang dunia. Dari bangku kayu yang sudah rapuh, mereka belajar menulis nama, berhitung, hingga bermimpi menjadi guru, perawat, atau bahkan bupati. Namun beberapa waktu lalu, mimpi-mimpi itu hampir saja terkubur oleh sebuah kebijakan rencana penutupan sekolah.

Kabar itu berembus cepat. Orang tua mulai resah, anak-anak bertanya-tanya, “Kalau sekolah kami ditutup, kami harus belajar di mana?” Bayangan harus berjalan jauh ke kampung tetangga, menyusuri jalan berbatu, atau bahkan berhenti sekolah sama sekali, menghantui mereka. Rasa cemas menyelimuti desa-desa yang sebagian besar warganya menggantungkan harapan pada satu-satunya sekolah dasar di kampung.

Pendidikan adalah hak konstitusional setiap anak bangsa. Namun, ketika wacana penutupan sekolah muncul, seakan-akan hak itu menjadi barang yang bisa dicabut hanya karena alasan administrasi atau angka statistik. Apa salah anak-anak di pedalaman karena jumlah muridnya sedikit? Apa salah orang tua di kampung karena tidak mampu memadati ruang kelas?.

Isu penutupan sekolah di Aceh Barat menjadi gambaran nyata betapa rapuhnya akses pendidikan di daerah. Bagi masyarakat perkotaan, sekolah lain mungkin mudah dijangkau. Namun bagi warga pedalaman, menutup sekolah berarti memutus asa, memutus kesempatan, bahkan memutus generasi.

Di tengah keresahan itulah, Bupati Aceh Barat, Tarmizi SP MM dan Wakil Bupati Saed Fadheil, hadir. Ia turun langsung meninjau SDN Paya Baro, salah satu sekolah yang disebut-sebut akan ditutup. Kehadirannya bukan sekadar seremonial. Ia datang membawa kepastian bahwa sekolah tidak akan ditutup. Keputusan itu sederhana, tapi dampaknya luar biasa, ia mengembalikan senyum di wajah anak-anak, dan menghapus air mata cemas orang tua.

Tarmizi, dengan kebijakannya, telah memilih berpihak pada yang lemah pada anak-anak yang tidak punya suara dalam politik, pada guru-guru yang masih setia meski fasilitas terbatas, pada orang tua yang hanya ingin anaknya tetap bisa membaca dan menulis di kampung sendiri.

Bupati Tarmizi patut disebut “pahlawan pendidikan” Aceh Barat dalam peristiwa ini. Sebab ia berani menolak logika sempit penutupan sekolah demi efisiensi. Ia melihat lebih jauh bahwa setiap anak di pedalaman punya hak yang sama dengan anak di kota besar. Ia tidak rela sekolah ditutup hanya karena alasan jumlah murid atau keterbatasan anggaran.

Tindakan ini seolah mengingatkan kita pada pesan lama, bahwa pemimpin sejati bukan hanya pengelola anggaran, tetapi juga penjaga harapan rakyatnya. Dengan membatalkan penutupan, Tarmizi menunjukkan empati, keberanian, dan tanggung jawab moral seorang kepala daerah.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan soal angka, melainkan soal manusia. Satu sekolah kecil di pedalaman bisa jadi benteng terakhir bagi anak-anak untuk bermimpi. Menutup sekolah sama saja dengan merampas masa depan mereka.

Bupati Tarmizi SP MM telah memilih jalan yang tepat ia berdiri di sisi rakyatnya, ia menolak mematikan mimpi anak-anak pedalaman, ia membatalkan keputusan yang bisa jadi bencana sosial. Untuk itu, ia pantas dipuji sebagai “pahlawan” yang menyelamatkan hak dasar pendidikan di Aceh Barat.

Namun, pekerjaan belum selesai. Masyarakat berharap keputusan ini tidak berhenti pada pembatalan. Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah terus memperjuangkan kualitas pendidikan, memperbaiki sarana, menambah guru, dan memastikan tidak ada lagi anak Aceh Barat yang takut kehilangan sekolahnya.

Karena setiap anak yang bisa tetap belajar hari ini, adalah masa depan Aceh Barat yang lebih cerah esok hari.

Redaksi Sudutpenanews.com

banner 728x250

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *