Aceh Barat | Sudutpenanews.com : Putusan pengadilan dalam sebuah kasus dugaan penganiayaan baru-baru ini kembali membuka ruang diskusi publik tentang dugaan lemahnya penegakan hukum di Aceh Barat. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Penganiayaan Ringan”. Akan tetapi, vonis yang dijatuhkan hanya berupa pidana penjara selama 14 hari, bahkan tidak perlu dijalani kecuali jika dalam masa percobaan dua bulan ke depan terdakwa melakukan tindak pidana lain.
Di atas kertas, putusan ini tampak sah menurut hukum. Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, vonis seperti ini justru memperkuat stigma bahwa hukum di Indonesia cenderung lunak, terutama bagi pelaku tindak pidana yang jelas-jelas telah terbukti bersalah. Pertanyaan publik yang muncul adalah apakah keadilan benar-benar berpihak pada korban, atau justru melindungi pelaku dengan alasan “ringan”?.
Bagi korban dan keluarganya para pencari keadilan putusan ini terasa seperti tamparan kedua setelah luka pertama yang mereka derita akibat kekerasan. Mereka datang ke ruang sidang dengan harapan pelaku menerima ganjaran setimpal, namun yang pulang justru rasa hampa. Luka fisik mungkin sembuh, tetapi luka batin akibat diabaikannya keadilan akan terus membekas.
Putusan ringan dalam kasus kekerasan seperti ini bukan hanya sekadar angka hari dalam vonis, melainkan pesan kepada masyarakat, bahwa tindak kekerasan dianggap sepele. Bahwa mencederai tubuh dan martabat orang lain hanya pantas dihukum dengan “masa percobaan”. Pesan inilah yang berbahaya, karena ia menormalkan kekerasan dan mengikis rasa percaya rakyat terhadap hukum.
Para pencari keadilan bukan sekadar menuntut balas, melainkan ingin memastikan hukum berdiri tegak melindungi mereka. Namun apa jadinya bila lembaga hukum justru lebih lunak kepada pelaku dibanding berpihak pada korban? Apakah keadilan hanya milik mereka yang kuat, sementara yang lemah harus rela menerima kompromi?.
Vonis ringan bukanlah solusi. Ia tidak memberi efek jera, tidak mengembalikan rasa aman, dan tidak membangun kepercayaan publik. Sebaliknya, ia justru meninggalkan trauma sosial yang lebih dalam, bahwa hukum di negeri ini bisa diabaikan, dan keadilan bisa ditawar.
Sudah saatnya penegak hukum berhenti melihat penganiayaan hanya sebatas luka di tubuh. Luka di hati korban, luka dalam keluarga, dan luka di masyarakat jauh lebih berat. Jika hukum tidak mampu menjawab jeritan para pencari keadilan, maka hukum itu sendiri kehilangan makna.
Keadilan tidak boleh berhenti di ruang sidang. Ia harus hidup dalam rasa puas korban, dalam rasa aman masyarakat, dan dalam keyakinan bahwa siapa pun yang melukai sesamanya akan menerima hukuman setimpal. Jika tidak, maka yang kita miliki hanyalah hukum yang lemah dan rakyat yang terus terluka.








