Bangun Jalan Hauling Sendiri, atau Hentikan Derita Ini

Ilustrasi AI. Ist

Sudutpenanews.com, Aceh Barat : Di Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat, kehidupan berjalan di bawah bayang-bayang debu dan deru truk tambang. Empat gampong Muko, Palimbungan, Blang Geunang, dan Meunasah Rayeuk tak lagi merasakan damainya hidup pedesaan. Setiap hari, warga harus berhadapan dengan jalan berlubang, udara kotor, dan ancaman kecelakaan. Semua itu hadir bersamaan dengan aktivitas hauling batu bara oleh PT Agrabudi Jasa Bersama (AJB).

Ini bukan sekadar cerita tentang jalan rusak atau anak-anak yang batuk-batuk. Ini tentang janji yang dilanggar, tentang rasa percaya yang dicederai. Warga pernah dijanjikan dengan beberapa hal namun sampai ini kemerdekaan itu tak sempat mereka rasakan. namun yang datang justru sebaliknya, beban lingkungan, kesehatan terganggu, dan potret masa depan yang buram.

Ironisnya, tambang yang disebut membawa ‘kemajuan ekonomi’ justru menjauhkan masyarakat dari rasa aman dan nyaman. Mereka harus memilih antara bertahan dengan penderitaan, atau menuntut dengan suara yang sering tak didengar.

“Kami tidak anti-investasi, tapi jangan jadikan kami korban. Jalan ini milik rakyat, bukan lintasan tambang,” kata Keuchik Gampong Blang Geunang, Sofyan, kepada wartawan, Senin (30/6).

Warga menyebutkan bahwa jalan kabupaten yang menjadi lintasan utama truk tambang kini penuh lubang dan licin akibat ceceran batu bara. Bahkan, kondisi tersebut diperparah oleh abrasi jalan yang mengancam permukiman warga.

“salah jembatan rumah warga hampir ambruk akibat abrasi, saluran sawah tertutup tanah kerikil karena kerjaan yang asal-asalan, dan warga juga sering menyampaikan keluhan sesak napas kepada saya,” tambah Sofyan.

Warga juga sempat menghadang aktivitas penyebaran kerikil oleh perusahaan karena dinilai hanya menutupi kerusakan jalan tanpa menyelesaikan masalah utama.

“ditanggapi serius, jangan main-main. Ini kebutuhan vital bagi warga bukan hanya dengan serak kerikil masalah sudah selesai.”tegas Sofyan.

Puskesmas Kaway XVI juga melaporkan adanya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) secara bervariasi dalam beberapa bulan terakhir. Tercatat lebih dari seratusan kasus setiap bulannya di wilayah itu.

“Apakah ini langsung disebabkan oleh tambang kita belum bisa menjawab, perlu adanya uji kualitas udara. Namun tren ISPA memang ada dan bervariasi setiap bulannya,” kata dr. Leny, tenaga medis di Puskesmas Kaway XVI.

Kepala Puskesmas, Cut Misran, menyebutkan bahwa pihaknya sempat ada rencana kerja sama dengan pihak perusahaan untuk membentuk posko kesehatan berkala, namun tidak pernah terealisasi.

“Janji ada. Tapi sampai sekarang, posko tidak pernah dibentuk,MoU pun gagal” katanya.

Berdasarkan data yang diterima, penyakit ISPA di wilayah Kaway XVI terdapat Januari sebanyak 266 kasus, Februari 276 Kasus, Maret 204 Kasus, April 257 Kasus, Mei 158 dan Juni 133 Kasus.

Anggota DPRK Aceh Barat, Ramli, SE, menyebut bahwa PT AJB telah melakukan dua pelanggaran serius, melakukan hauling tanpa izin resmi dan menggunakan jalan umum tanpa perbaikan memadai.

“Kami punya data. Truk-truk perusahaan melintasi lintasan kabupaten hingga provinsi. Batu bara tercecer, truk ugal-ugalan, dan ini membahayakan warga,” kata Ramli saat ditemui usai rapat dengar pendapat.

Menurutnya, perusahaan juga terkesan tidak mengindahkan rekomendasi DPRK saat rapat dan inspeksi lapangan.

Ramli dan sejumlah warga meminta Bupati Aceh Barat untuk turun langsung ke lapangan, terutama pada malam hari ketika aktivitas truk dinilai paling padat dan membahayakan.

“Kami tidak sedang menyuruh. Tapi sebagai pemimpin, Bupati harus melihat sendiri kondisi rakyatnya. Jika diam, berarti membiarkan penderitaan ini terus terjadi,” tegas Ramli.

Ia juga menyoroti dugaan adanya “permainan dalam”, menyebut istilah “dalam toko ada kios”, yang mengarah pada kepentingan pribadi atau kelompok dalam proses pengambilan keputusan dan penghambat realisasi pembangunan jalan.

“Kami tahu semua siapa orangnya di balik perusahaan-perusahaan itu. Kalau Bapak mau tahu siapa yang tahan-tahan jalan, saya tunjukkan,” beber Ramli.

Warga dan DPRK sepakat bahwa jika perusahaan membangun jalur hauling khusus dan tidak melintasi jalan umum, maka penolakan akan berhenti.

“Kalau mereka bangun jalan sendiri, saya orang pertama yang dukung. Tapi kalau tetap pakai jalan rakyat, saya orang pertama yang lawan,” ujar Ramli.

Pernyataan itu pun diperkuat oleh salah satu anggota DPRK Aceh Barat lainya Fajar Ziyadi dalam RDP Bersama pihak perusahaan pertambangan batu bara beberapa waktu lalu, yang mana dirinya pernah mempertanyakan terkait dana kompensasi yang diberikan disalah satu gampong di Aceh Barat.

Menurut Fajar, pernyataan PT AJB yang mengaku masih menunggu hasil klarifikasi dan uji laboratorium dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi serta lembaga sertifikasi terkait terkait debu batu bara ini bertolak belakang dengan kenyataan bahwa perusahaan telah melakukan kesepakatan kompensasi dengan salah satu desa terdampak.

“Kalau memang PT AJB masih menunggu hasil uji dan klarifikasi, lalu mengapa sudah ada perjanjian antara perusahaan dan salah satu desa di Aceh Barat terkait kompensasi debu sebesar Rp5 juta per bulan?” ujar Fajar.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa realisasi kompensasi pun tak sepenuhnya terpenuhi. “Menurut pihak desa tersebut, yang diterima hanya Rp2,5 juta per bulan dengan alasan tidak mencapai target hauling. Ini jelas menunjukkan inkonsistensi dan logika berpikir yang menurut saya sesat,” tegasnya.

Fajar menilai bahwa lahirnya kompensasi adalah bukti bahwa memang ada dampak debu batu bara yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas hauling. Oleh karena itu, menurutnya, tidak relevan apabila perusahaan masih berlindung di balik proses uji laboratorium untuk menunda tanggung jawabnya.

Pihak DPRK tentunya berharap perusahaan dapat membangun jalannya khusus hauling sesuai dengan UU No 3 tahun 2020 tentang Minerba dalam melaksanakan operasionalnya dengan jangka waktu yang telah ditentukan ketika rapat sebelumnya dengan pihak Pemkab Aceh Barat.

Namun, disamping itu jika memang perusahaan masih menggunakan jalan umum, perusahaan harus juga mempertimbangkan dampak-dampak yang terjadi seperti kerusakan jalan, debu batu bara, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, pihak DPRK mendorong dan mendesak perusahaan untuk dapat melakukan tanggung jawab perusahaan dalam merealisasikan kewajiban-kewajiban yang timbul akibat aktivitas hauling tentunya dengan kolaborasi yang baik dengan pemerintah daerah.

Sementara itu mengutip komentar Bupati Aceh Barat Tarmizi disalah satu portal pemberitaan online ketika Dua perusahaan tambang batubara melakukan audiensi dengan Bupati Aceh Barat, Tarmizi SP dan jajaran pejabat di pemerintahan setempat, Rabu (25/6/2025) di Aula Teuku Umar di kantor bupati di Meulaboh,  dirinya memastikan pihaknya akan membentuk tim khusus yang terdiri dari unsur Pemda, DPRK, dan perusahaan untuk memastikan pelaksanaannya berjalan baik dan tidak menimbulkan protes dan kegaduhan di masyarakat.

Namun, izin ini hanya akan diterbitkan setelah kedua perusahaan memenuhi syarat ketat, termasuk aspek keselamatan dan dampak sosial serta pemberian waktu maksimal dua tahun bagi perusahaan untuk menyelesaikan pembangunan jalan khusus dan Pelabuhan.

Potret Kecamatan Kaway XVI hari ini adalah cermin dari konflik antara kepentingan ekonomi dan hak hidup masyarakat. Lonjakan ISPA yang diduga akibat aktivitas hauling, jalan rusak, abrasi, dan janji kosong  menunjukkan bahwa investasi tambang tanpa pengawasan ketat dan kepedulian sosial hanya akan menyisakan luka.

Ceceran batu bara terus terjadi pada malam hari. Dimana ceceran itu kerap terjadi dilintasan desa Lapang dan Lintasan antar Provinsi Meulaboh-Tapaktuan. Ceceran batu bara ini diduga milik perusahaan tambang di Kabupaten setempat yang melakukan hauling dengan menggunakan lintas Kabupaten dan Provinsi.Pada Bulan Mei 2025, Dari hasil penelusuran tim sudutpenanews.com, ceceran batu bara ini terjadi pada Jum’at (16/05/2025) di wilayah Desa Lapang dan Lintasan Desa Ujung Drien Kecamatan Meureubo.

Hal ini patut disayangkan apabila perusaan tambang batu bara yang menggunakan lintasan Kabupaten terus membiarkan hal ini terjadi, apalagi dengan hasil debu yang diduga bisa disebabkan oleh ceceran batu baru sehingga bisa mengakibatkan ganguan saluran pernafasan.

Apakah akan berpihak pada rakyat yang sakit dan menderita, atau terus diam di tengah kepulan debu batu bara?

Hingga berita ini diturunkan pihak PT. Agrabudi Jasa Bersama (AJB) belum memberikan tanggapan meskipun sudah dihubungi melalui telpon dan chat whatsapp pada Senin (30/6/2025) Safran selaku Humas di Perusahaan tersebut.

Reporter Tim Sudutpenanews.com

banner 728x250

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *