Sudutpenanews.com, Aceh Barat : Di tengah deru alat berat dan deretan truk pengangkut batu bara, ada jeritan sunyi dari warga yang setiap hari menghirup debu dan bertaruh nyawa di sepanjang jalur aktivitas hauling PT AJB (Agrabudi Jasa Bersama). Perusahaan tambang batu bara ini telah lama menjadi sorotan di Aceh Barat. Bukan karena prestasi atau kontribusinya yang luar biasa, melainkan karena warisan debu, kerusakan jalan, penyakit, dan kemarahan warga yang tak kunjung mendapat solusi.
Salah satu sumber utama konflik adalah penggunaan jalan kabupaten dan provinsi sebagai jalur hauling. Seharusnya, jalan umum diperuntukkan bagi masyarakat, bukan untuk dilewati ratusan truk tambang bertonase berat setiap hari. Akibatnya, infrastruktur jalan yang dibiayai dari APBD rusak parah, bahkan beberapa titik hanya diperbaiki dengan tambalan semen seadanya. Bukankah ini bentuk perampasan fasilitas publik oleh korporasi?
Lebih miris lagi, jalan yang digunakan PT AJB (Agrabudi Jasa Bersama) untuk hauling tidak dibangun khusus oleh perusahaan. Ini artinya, tanpa investasi berarti, perusahaan menikmati manfaat maksimal dari jalan umum, sementara masyarakat yang tinggal di sekitarnya menerima beban dampak lingkungan dan kesehatan.
Paparan debu batu bara bukan sekadar gangguan visual atau kenyamanan. Debu ini mengandung partikel halus (PM10 dan PM2.5) yang dapat masuk hingga ke paru-paru, memicu penyakit saluran pernapasan (ISPA), bronkitis, bahkan asma kronis. Di sepanjang jalur hauling PT AJB, ada dugaan kasus ISPA terus meningkat. ada ratusan kasus terjadi di kecamatan Kaway XVI dari Januari hingga Juni 2025 ini. Sementara Keluhan dari warga kerap diabaikan dan tanpa pembentukan posko Kesehatan disetip jalur hauling yang mereka gunakan. Padahal, dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dampak lingkungan dan kesehatan akibat aktivitas industri harus dikendalikan dan dimitigasi oleh pelaku usaha itu sendiri.
Berdasarkan data yang diterima, penyakit ISPA di wilayah Kaway XVI terdapat Januari sebanyak 266 kasus, Februari 276 Kasus, Maret 204 Kasus, April 257 Kasus, Mei 158 dan Juni 133 Kasus. Apakah itu berasal dari paparan debu atau bukan, hal ini belum bisa dijawab oleh pihak fasilitas kesehatan setempat.
Apakah PT AJB melakukan itu? Warga dan fasilitas Kesehatan menjawab dengan satu kata: “Tidak.”
Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya menjadi instrumen tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di sekitar wilayah operasi. Namun faktanya, hanya sebagian desa yang menerima bantuan CSR dari PT AJB, dan itu pun diduga tanpa transparansi. Banyak desa yang langsung dilintasi truk tambang mengaku tidak pernah sekalipun disentuh kompensasi, baik berupa bantuan kesehatan, pendidikan, maupun infrastruktur.
Tak sedikit yang mulai menduga ada permainan di balik pembiaran ini. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) serta Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh Barat disebut-sebut sebagai institusi yang patut diperiksa. DLHK semestinya menjadi ujung tombak pengawasan terhadap pencemaran udara dan dampak lingkungan. Sementara Dishub bertanggung jawab terhadap kelayakan jalan dan izin lalu lintas kendaraan bertonase besar.
Namun kenyataannya, aktivitas hauling tetap berjalan tanpa sanksi tegas, bahkan saat pelanggaran lingkungan dan keluhan warga sudah terang benderang. Mungkinkah ada pembiaran terstruktur? Atau lebih buruk lagi, apakah ada kolusi dan permainan izin? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menguatkan persepsi publik tentang “main mata” antara institusi dan perusahaan.
Sayangnya, Tak ada langkah konkret untuk membatasi atau menegosiasikan ulang izin penggunaan jalan umum. Bahkan, ada yang menduga serta menyebut karena ada tekanan politik atau kekuatan ekonomi yang besar dari PT AJB. Apapun alasannya, ketiadaan sikap adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
Masyarakat tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin jalan yang aman, udara yang bersih, dan keadilan dalam distribusi tanggung jawab sosial perusahaan.
Anggota DPRK Aceh Barat Ramli, melontarkan kritik tajam terhadap operasional PT AJB (Agrabudi Jasa Bersama) yang dinilai telah melanggar aturan dan membahayakan masyarakat. Dirinya menekankan bahwa pembangunan jalur hauling khusus adalah solusi utama serta siap mendukung perusahaan itu apabila perusahaan membangun jalan sendiri dan tidak lagi menggunakan jalan rakyat. Namun selama truk tambang masih melintas di jalan umum, ia berkomitmen menjadi garda terdepan dalam perlawanan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
Pernyataan Bupati Aceh Barat tentang pembentukan tim khusus bersama DPRK, Pemda, dan PT AJB adalah langkah penting untuk meredam kegaduhan publik yang sudah terlalu lama bergema. Namun, wacana ini tidak cukup jika tidak dibarengi dengan pengawasan ketat dan transparansi. Pemberian waktu dua tahun kepada PT AJB (Agrabudi Jasa Bersama) untuk menyelesaikan jalan khusus dan pelabuhan harus menjadi ultimatum, bukan kelonggaran. Rakyat sudah bosan dengan janji. Keselamatan warga dan dampak sosial tak bisa lagi ditawar. Tanpa pemenuhan syarat dan itikad nyata, izin tidak pantas diterbitkan. Kini saatnya pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada truk-truk yang membawa debu dan bahaya.
Pihak PT AJB telah menjanjikan pembangunan jalan hauling khusus. Namun proyek ini disebut-sebut membutuhkan waktu hingga dua tahun sesuai intruksi kepala daerah. Selama menunggu, warga harus tetap hidup berdampingan dengan truk tambang dan debu yang terus meracuni kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan mendasar muncul, Mengapa pembangunan jalan hauling tidak dijadikan prasyarat operasional sejak awal? Bukankah pembangunan infrastruktur penunjang seharusnya mendahului eksploitasi sumber daya alam berskala besar?
Menjanjikan jalan hauling di tengah-tengah operasi yang sudah berjalan, ibarat meminta korban untuk bersabar disiksa sambil menunggu pelaku berjanji berhenti dua tahun ke depan.
Apakah pemerintah dan perusahaan menyadari betapa lamanya dua tahun dalam hitungan penderitaan harian warga? Dalam dua tahun, ribuan paru-paru anak bisa rusak. Dalam dua tahun, puluhan petani bisa kehilangan produktivitas lahannya karena debu menutupi daun tanaman. Dalam dua tahun, kepercayaan terhadap keadilan bisa sepenuhnya hilang.
Dalam beberapa bulan terakhir, warga sudah berkali-kali menggelar protes, menulis petisi, hingga mendatangi kantor dinas. Namun respons yang diterima hanya janji manis dan rapat yang tak membuahkan hasil. Anak-anak tetap batuk di pagi hari, ibu-ibu harus membersihkan rumah dari debu batu bara setiap jam.
Ini bukan lagi soal konflik korporasi dan warga. Ini soal hak hidup yang dirampas secara perlahan.
PT AJB di Aceh Barat adalah cermin dari bagaimana sistem bisa gagal menegakkan keadilan lingkungan. Ketika perusahaan diberi ruang terlalu besar tanpa kontrol, ketika instansi pengawas memilih bungkam, dan ketika suara rakyat diabaikan, maka yang terjadi adalah kerusakan yang sistemik dan menyakitkan.
Kita butuh kehadiran negara. Bukan hanya di atas kertas, tapi nyata di jalanan berdebu, di rumah warga yang sesak, dan di suara-suara kecil yang terus berteriak untuk hidup layak.
Karena jika hari ini kita membiarkan debu itu melayang tanpa kontrol, besok ia akan menutup seluruh wajah keadilan di negeri ini.