Sudutpenanews.com, Aceh Barat : Di tengah polemik kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, publik kerap hanya menyoroti perusahaan tambang sebagai pihak utama yang bersalah. Namun sesungguhnya, tanggung jawab itu jauh lebih luas dan menyentuh banyak pihak yang terikat dalam sistem regulasi pertambangan nasional.
Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memiliki peran vital sebagai regulator dan pengawas. Izin usaha pertambangan tidak boleh hanya menjadi formalitas, tetapi harus melalui proses ketat dengan evaluasi mendalam atas dampak lingkungan dan keselamatan kerja. Jika perusahaan tambang tetap beroperasi di tengah pelanggaran, maka publik berhak mempertanyakan, apakah pengawasan berjalan sebagaimana mestinya?
Dinas Lingkungan Hidup (DLH), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan tidak terjadi pencemaran air, udara, maupun degradasi ekosistem. Fungsi pemantauan dan pemberian sanksi bukan sekadar di atas kertas, melainkan harus nyata di lapangan. Ketika debu batu bara mencemari pemukiman dan kualitas air menurun drastis, tanggung jawab DLH tidak bisa dikesampingkan.
Perusahaan konsultan lingkungan juga punya peran strategis. Mereka bukan sekadar “tangan teknis” perusahaan untuk meloloskan dokumen AMDAL, tapi seharusnya menjadi mitra kritis yang menjunjung etika profesional dan kepentingan lingkungan. Apakah mereka sudah menjalankan studi dan pemantauan secara independen, atau justru terseret dalam konflik kepentingan?
Lebih jauh, kehadiran ahli teknik lingkungan pertambangan sangat krusial sejak awal proses pembukaan konsesi. Mereka bertanggung jawab menyusun strategi pengendalian dampak, mulai dari pengelolaan limbah, pengendalian erosi, hingga reklamasi lahan pasca tambang. Jika strategi ini tidak dilaksanakan atau gagal dievaluasi, maka mereka pun tak bisa lepas dari tanggung jawab moral dan teknis.
Dalam sistem yang ideal, semua pihak ini harus bekerja secara kolaboratif namun kritis, dengan satu tujuan: melindungi lingkungan dan masyarakat. Sayangnya, dalam praktiknya, koordinasi seringkali lemah, dan transparansi menjadi barang langka. Jika masing-masing hanya bekerja demi memenuhi prosedur, bukan substansi, maka bencana ekologis hanyalah persoalan waktu.
Sudah saatnya kita menuntut bukan hanya perusahaan, tapi seluruh rantai pengambil kebijakan dan pelaksana teknis agar bertanggung jawab secara menyeluruh. Karena rusaknya lingkungan bukan hanya soal tambang tetapi soal abainya sistem.
Penulis: Della Sefrianeldy