Sudutpenanews.com, Aceh : Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan empat pulau sengketa—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek sebagai wilayah Sumatera Utara (Sumut) bukan hanya masalah administrasi. Bagi rakyat Aceh, ini adalah pencaplokan terang-terangan, sebuah bentuk penjajahan ekonomi gaya baru yang mengulang luka lama.
1. Tindakan Tergesa-gesa Kemendagri: Legal, Tapi Adilkah?
Kemendagri berdalih bahwa keputusan ini berdasarkan kajian geografis dan hukum tetapi prosesnya terkesan dipaksakan tanpa dialog mendalam dengan Aceh. Mengapa tidak melibatkan musyawarah adat dan tokoh Aceh?
Aceh memiliki sejarah panjang sengketa wilayah ini sejak 1928, dan keputusan sepihak Kemendagri hanya memperkuat anggapan bahwa Jakarta masih memandang Aceh sebagai wilayah taklukan, bukan mitra setara.
2. Bupati Tapanuli Tengah “Siap Bangun Pos Pemkab”: Sikap Arogan atau Provokasi?
Bupati Masinton Pasaribu dengan cepat menyambut keputusan ini dan bahkan berencana membangun pos pemerintahan di pulau-pulau tersebut. Sikap ini dianggap provokatif oleh masyarakat Aceh, yang masih berjuang mempertahankan klaim mereka.
– Jika benar pulau-pulau ini “kosong”, mengapa baru sekarang Sumut begitu bersemangat mengklaimnya?
– Apakah ini terkait potensi migas dan sumber daya laut yang melimpah di sana?
3. Perlawanan Rakyat Aceh: Bangkitnya Sentimen “Aceh Darussalam”
Reaksi penolakan dari masyarakat Aceh bukan sekadar emosi sesaat. Ini adalah akumulasi kekecewaan terhadap ketidakadilan yang berulang:
– Era Orde Baru: Gas Arun dieksploitasi, tapi Aceh tetap miskin.
– Pasca-MoU Helsinki: Otonomi khusus dijanjikan, tapi kendali SDA masih di bawah Jakarta.
– Kini: Empat pulau strategis “dicaplok” tanpa konsultasi.
Jika pemerintah pusat terus bersikap otoriter, jangan heran jika gerakan perlawanan baru muncul, bahkan mungkin lebih radikal daripada GAM dulu.
4. Politik Adu Domba: Bobby Nasution vs. Muzakir Manaf
Di balik ini, ada permainan politik yang halus:
– Bobby Nasution (Gubernur Sumut, menantu Jokowi) tiba-tiba menawarkan “kolaborasi” setelah pulau-pulau itu resmi jadi milik Sumut. Apakah ini upaya pencucian tangan?
– Muzakir Manaf (Mualem)—mantan panglima GAM yang kini Gubernur Aceh—dipaksa memilih antara loyalitas pada Jakarta atau rakyat Aceh. Jika ia diam, ia akan dianggap pengkhianat perjuangan Aceh.
5. Pemerintah Pusat = Penjajah Gaya Baru?
Aceh punya sejarah gemilang sebagai Kerajaan Aceh Darussalam, penguasa Selat Malaka. Kini, mereka merasa diperlakukan sebagai wilayah terjajah:
– SDA dikelola pihak luar.
– Wilayah diputuskan sepihak.
– Aspirasi rakyat diabaikan.
Jika Jakarta tidak segera mengoreksi keputusan ini dengan dialog yang adil, maka Aceh mungkin akan kembali mempertanyakan: masih pantaskah setia pada Republik ini?
Kesimpulan: Jangan Bangkitkan Luka Lama Aceh
Pemerintah harus:
1. Menghentikan kesewenang-wenangan, dan membuka ruang dialog dengan Aceh.
2. Memastikan keadilan pengelolaan SDA, jika pulau-pulau tersebut nantinya jadi dikelola.
3. Mencegah provokasi dari pihak Sumut yang bisa memicu konflik horizontal.
Aceh bukan wilayah taklukan. Aceh adalah bangsa yang punya harga diri. Dan sejarah membuktikan, mereka tidak akan diam jika terus dizalimi.
Penulis: Della Sefrianeldy