Sudutpenanews.com, Aceh Barat : Dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang seharusnya menjadi jembatan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar, justru kerap menjadi sumber dilema dan kontroversi di Aceh Barat. Di satu sisi, CSR adalah instrumen penting untuk menyeimbangkan dampak operasional perusahaan terhadap sosial dan lingkungan. Namun di sisi lain, pelaksanaannya di lapangan justru sering kali diselimuti kabut ketertutupan, tumpang tindih kepentingan, dan bahkan dugaan penyalahgunaan.
Aceh Barat merupakan rumah bagi sejumlah perusahaan besar, mulai dari sektor tambang, energi, hingga infrastruktur. Aktivitas industri ini telah memberi dampak besar terhadap lingkungan hidup dan struktur sosial masyarakat. Idealnya, perusahaan-perusahaan ini menyalurkan sebagian keuntungannya untuk pembangunan sosial, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pelestarian lingkungan melalui skema CSR. Namun yang terjadi, dana CSR kerap dikelola secara tidak transparan, bahkan terkesan elitis dan eksklusif.
Dilema muncul ketika pelaksanaan CSR tak lagi fokus pada kebutuhan masyarakat, melainkan pada kepentingan sekelompok elit lokal atau aktor-aktor tertentu yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Dalam beberapa kasus, program CSR dijadikan sebagai proyek pribadi oleh oknum-oknum yang tidak mewakili suara komunitas terdampak. Akibatnya, bantuan CSR justru jatuh pada program-program instan yang kurang berkelanjutan—seperti kegiatan seremonial, sponsor event politik, atau pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran.
Lebih ironis lagi, banyak warga yang tinggal di sekitar wilayah operasional perusahaan bahkan tidak tahu-menahu bahwa dana CSR pernah disalurkan. Mereka tetap hidup dalam kondisi keterbatasan akses terhadap air bersih, pendidikan, layanan kesehatan, bahkan peluang ekonomi. Ini menunjukkan adanya jarak antara idealisme CSR dan kenyataan di lapangan.
Pemerintah daerah pun menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka diharapkan menjadi fasilitator yang memastikan CSR berjalan sesuai kepentingan publik. Namun di sisi lain, lemahnya regulasi dan pengawasan membuat pemerintah kerap tidak berdaya, atau bahkan terseret dalam pusaran konflik kepentingan. Sejumlah pihak mendorong agar Pemerintah membentuk lembaga independen khusus untuk mengatur dan mengawasi seluruh alokasi dan implementasi CSR lintas perusahaan. Namun realisasi wacana ini berjalan bak hembusan angin sepoi-sepoi.
Di sinilah urgensi keterbukaan informasi publik menjadi sangat penting. Masyarakat berhak tahu berapa besar dana CSR yang disalurkan, apa saja programnya, siapa penerimanya, dan bagaimana hasilnya. Hanya dengan sistem yang transparan dan partisipatif, CSR bisa keluar dari dilema dan benar-benar menjadi solusi.
Sudah saatnya CSR tidak lagi dijadikan alat untuk membangun citra perusahaan atau ‘lahan basah’ para penguasa lokal. Sebaliknya, CSR harus dipulihkan sebagai amanah sosial yang menuntut akuntabilitas tinggi. Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap dunia usaha dan pemerintah akan terus tergerus, dan jurang ketimpangan sosial di Aceh Barat akan semakin menganga.
Dilema dana CSR di Aceh Barat bukan sekadar soal teknis pengelolaan, melainkan soal etika, keadilan, dan keberpihakan. Selama belum ada pembenahan menyeluruh, maka CSR hanya akan menjadi simbol kepedulian semu—manis di laporan tahunan, tapi pahit dalam realitas masyarakat.
Penulis : Redaksi Sudutpenanews.com